posisi guru
Masih ingatkah Anda ketika untuk pertama kali berhadapan dengan
seorang guru baru? Ketika baru masuk SD atau di Taman Kanak-Kanak? Pada saat
itu, Anda masih seorang bocah kecil, masih belum tahu tentang seluk beluk
kehidupan di sekolah. Anda dituntun oleh Ibu atau barang kali Ayah dan dengan
hati berdebar menyongsong suatu dunia yang baru, yaitu sekolah.
Banyak anak lain yang juga dibimbing oleh Ibu atau Bapaknya,
berkerumunan di halaman sekolah, menunggu nasib yang sama dengan Anda. Tentu saja
Anda belum mengenal mereka. Nakal-nakalkah mereka?
Ketika nama Anda dipanggil Bapak atau Ibu guru, Anda menoleh kepada
orangtua. Beliau mengangguk dan tersenyum memberi dorongan. Dengan malu-malu
dan penuh keraguan, Anda melangkah menuju ke arah mereka.
Beliau menerima Anda dengan ramah, mengajukan beberapa pertanyaan
dengan senyum yang mengurangi keraguan tersebut. Barangkali jawaban yang Anda
berikan tidak begitu jelas didengar, tetapi beliau menganguk-angguk dan memuji
Anda, “Bagus, kau pandai sekali”. Kemudian beliau membimbing Anda menuju ke
bangku tempat duduk semula.
Tentu saja pada saat itu Anda tidak tahu persis peristiwa yang
terjadi sesungguhnya, yaitu pelimpahan tanggung jawab pendidikan, khususnya
mengenai aspek-aspek tertentu dari pendidikan Anda kepada sekolah.
Anda hanya mengalami peristiwa-peristiwa yang baru, yaitu tempat
baru, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan baru, kawan-kawan baru atau
guru baru yang membimbing Anda. Selain itu, guru itu adalah orang yang hebat
dalam pandangan Anda, ia ramah, manis, serba bisa dan serba tahu, bahkan serba
benar. Ia pandai bercerita, banyak humornya, merdu apabila menyanyi, indah
gambar dan tulisannya dan serta menyenangi segala tingkahlakunya. Namun, pada
saat-saat tertentu ia tampil juga sebagai orang yang tegas, atau barang kali
dalam peristilahan Anda pada saat itu: galak! Sungguh ia orang yang paling
hebat! Hal ini membuat Anda banyak mendengar dan menurut kepadanya. Banyak
kata-kata beliau yang mungkin masih terngiang-ngiang di telinga. Kini, pada
saat Anda sudah dewasa-sadar atau tidak kata-kata mereka, Anda lakukan.
Hari demi hari berjalan terus dan kehidupan sekolah telah menjadi
dunia Anda. Kini Anda telah duduk di sekolah menengah atau bahkan mungkin
perguruan tinggi. Banyak guru telah Anda hadapi. Anda tak lagi malu-malu
menghadapinya seperti dahulu. Bahkan Anda tak lagi begitu menuruti
kata-katanya; mungkin ada beberapa pendapatnya yang Anda sanggah, dengan
argumentasi-argumentasi atau landasan pikiran yang mungkin berbeda. Kini Anda telah
bersikap kritis terhadapnya, tetapi tetap menghormatinya, pertanda bahwa Anda
telah mampu menggunakan pikiran atau rasio Anda. Terhadap sikap tersebut
ternyata beliau tidak marah, bahkan menghargai Anda. Anda makin hormat
kepadanya! Dengan perkataan lain, kini Anda tidak lagi menganggap guru sebagai
sumber atau personifikasi dari norma-norma. Ada kalanya pula Anda suka mengetes
dan menilainya. Lebih-lebih kepada guru baru. Setiap guru baru yang Anda
dapatkan, menjadi bahan sorotan setiap siswanya.
Memang, terkadang para siswa
ini meneropong gurunya dengan segala pujian, tetapi terkadang pula dengan
cemoohan. Memang, pandangan siswa terhadap guru sangat mudah dipengaruhi oleh
sikap dan penampilan guru tersebut. Baik disadari maupun tidak, segala perilaku
guru memiliki daya tarik tersendiri untuk selalu dinilai dan diamati
keberadaannya, apakah ia termasuk guru yang disenangi (favorit) atau sebaliknya tidak disenangi
(galak/killer).
Dalam pandanga siswanya, secara umum guru favorit adalah guru yang
ramah, perhatian serta baik hati, tetapi semua itu tidak akan berarti apa-apa
jika tidak memberikan ruang aktif buat para siswanya. Guru dapat memberi siswa
ruang partisipasi selebar-lebarnya, berdemokrasi dan memberi kebebasan namun
tetap membimbing siswa tersebut. Ketika proses pembelajaran berlangsung, siswa
tidak merasa tertekan dan terbebani, sehingga ia akan merasa senang dengan pelajaran yang disampaikan meskipun terkadang
pelajaran yang paling ia benci. Namun, disinilah keunikan seorang guru sehingga
dapat menjadi pemicu dan penyemangat dalam menjalakan suatu hal yang sulit
sekalipun.
Dalam situasi ini, guru sejatinya mengambil posisi sebagai teman (patner)
yang istiqomah membimbing dan sabar mendorong anak didiknya guna memastikan
bahwa kreativitas dan kesungguhan anak didiknya itu tetap terjaga. Guru
dituntut untuk konsisten pada posisinya sebagai fasilitator dan motivator. Dengan
menjaga perannya itu, berarti guru telah berhasil memandang anak didik bukan
sebagai objek, tetapi subjek. Sementara menghargai siswa sebagai pribadi utuh
dan memahami pluralitas potensi yang dimilikinya merupakan langkah awal
keberhasilan sebuah proses pendidikan dan pembelajaran.
Bertolak pada pemahaman bahwa anak adalah pribadi independen dengan
ragam ciri dan karakteristik yang dimilikinya, membicarakan bagaimana mestinya
posisi guru menjadi amat penting. Pluralitas kemampuan, fisik, watak dan karakter
anak menuntut kecerdasan guru dalam mengolah situasi pembelajaran agar apa yang
disampaikan mampu diserap oleh semua anak. Kelas menjadi laboratorium dan
miniatur tempat kemampuan seorang guru diuji.
Demi menjaga kondisi proses pembelajaran, peran guru di dalam kelas
menjadi strategis dan menentukan. Oleh karena itu, bagaimana sebenarnya menjadi
seorang guru yang mampu memegang perannya sebagai fasilitator dan motifator
dengan baik? Menurut (Asep Saefullah) setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi
catatan penting bagi seorang guru.
Pertama, berusaha mengesampingkan egoisme pribadi. Sikap mendikte, cuek
terhadap pendapat anak, jarang kompromi saat memutuskan sesuatu yang terkait
dengan proses pembelajaran, menunjukan sikap yang otoriter. Kalau situasi ini
dibiarkan, berarti nalar daya kreativitas dan keberadaan siswa mengemukakan
pendapat, terkerangkeng dan terkikis habis. Akibatnya, siswamenjadi
minder dan takut untuk mengacungkan tangannya. Kesimpulannya, egoisme guru,
disadari atau tidak, menimbun potensi anak didik, bahkan mengerdilkan jiwanya.
Kedua,
memprioritaskan penghargaan (reward) dari
pada hukuman (punishment). “Dosa”
anak didik harus diteropong dalam bingkai kepolosan dan ketidaktahuan mereka,
bukan kepicikan dan kemunafikan layaknya orang dewasa. Kekeliruan anak didik
masih dianggap wajar jika terpaksa kekeliruan itu harus ditukar dengan hukuman
selama hukuman itu masih menghindahkan sisi humanitas dan edukatifnya, bukan
malah mengedepankan kekerasan, seperti yang selama ini lazim dilakukan.
Bagaimanapun, hukuman yang miskin nilai edukatif dan sarat kekerasan-baik fisik
atau psikis-sama sekali bukan solusi, bahkan bencana.
Saat
ini, perlu dikembangkan sikap yang lebih memprioritaskan penghargaan anak didik
atas prestasi sekecil apapun bukan malah menekan, memaksa, dan menghukum mereka
atas kesalahan yang kadang sepele.
Apalagi “ganjaran” itu “ditegaskan” dalam bentuk premanisme dan kanibalisme
yang meminggirkan eksistensi kedirian anak didik sebagai manusia utuh. Jika
kekerasan yang dijadikan solusi, kekerdilan dan kemandekan perkembangan potensi
anak didik akan menjadi nyata. Rudolf Dreikurs dalam tulisan Tukiman
mengukuhkan: semestinya bukan paksaan dulu yang dimunculkan, tapi stimulasi
yang lebih dibutuhkan. Sikap menghargai adalah cara merangsang yang paling
efetif. (kompas, 29/11/07).
Ketiga,
menciptakan situasi belajar menyenangkan. Guru dituntut untuk cerdas membaca
situasi dan lihai “menyetir” suasana pembelajaran guna memastikan peroses
pembelajaran berjalan dengan baik dan
terarah. Guru semestinya mahir membingkai pembelajaran dalam suasana
kegembiraan yang lepas dan tanpa beban. Gagasan guru dalam memfasilitasi
kehendak siswa guna memelihara kegembiraan anak didik diejawantahkan melalui pembelajaran yang dilakukan di luar kelas.
Cara ini cukup ekeftif saat anak didik merasa jenuh lantaran mata mereka sesak
dengan formalitas situasi kelas. Lebih jauh lagi, “mengutak-atik” tempat
belajar, cara penyampaian, dan menyelingi proses pembelajaran dengan kuis,
cerita, atau humor, dipandang mampu memelihara antusiasme dan keriangan anak
didik.
Karena
kegembiraan anak didik plus pendidik menjadi indikasi awal bahwa tujuan
pembelajaran anak akan lebih mudah untuk dicapai. Y.B. MangunWijaya menyebut
bahwa joyful learning menjadikan
proses pembelajaran lebih kondusif dan sarat semangat untuk berkerja sama secara partisipatif. (Jawa pos, 22/07/07)
Selain
ketiga hal tersebut di atas, yaitu mengesampingkan egoisme pribadi, atau
memprioritaskan penghargaan (reward)
daripada hukuman (punishment), serta
menciptakan situasi belajar yang menyenangkan. Menurut Fahd Jibran: 128-130 ada
hal yang lebih penting untuk diperhatikan berupa syarat bisa sampainya ilmu dari guru kepada siswa,
yaitu:
·
Guru memahami ilmunya
secara pasti dan sesuai dengan keahliannya, dalam hal ini ada istilah seseorang
guru yang mempunyai basic pendidikan
dibidang bahasa, tapi mengajar matematika. Guru yang tidak faham dengan
pelajaran yang disampaikan maka hasil
pembelajaran akan bersifat monoton dan membosankan. Hal ini disebabkan
pelajaran hanya sekedar mencatat di papan tulis atau didikte dari buku.
·
Guru ragu-ragu dalam
menyampaian ilmu, sehingga membuat siswa merasa seperti di persimpangan, antara
memahami dan tidak mengenal pelajaran
yang disampaikan. Apabila guru ragu-ragu dalam menyampaikan ilmu, akan sangat
berdampak pada siswa juga yang ragu-ragu dalam memahami ilmu tersebut.
·
Ilmu yang disampaikan
tidak bertentangan dengan kenyataan, khususnya dalam hal mengajarkan akal budi
yang baik, maka hal itupun harus berlaku dalam keseharian guru sehingga menjadi
contoh dan teladan bagi siswanya.
·
Dalam menyampaikan
ilmu, guru harus merujuk teori yang benar. Dalam hal ini guru tidak asal
berbicara, atau hadir di elas hanya sekedar ngobrol tanpa tujuan dan
selanjutnya pulang.
Apabila
semua syarat tersebut terpenuhi dan guru dapat melaksanakannya, maka siswa
tidak akan ragu-ragu memberikan julukan pada guru tersebut sebagai guru favorit
di sekolahnya.
Sebaliknya guru yang umumnya tidak
disenangi dan ditakuti adalah guru galak atau lebih populernya dikenal dengan istilah
guru killer (meskipun bahasa
inggrisnya galak bukan killer).
Biasanya julukan tersebut diberikan pada guru tergalak di sekolahnya. Guru killer juga diartikan mengandung sifat
pembunuh. Hal tersebut dibenarkan oleh sebagian orang pengamat pendidikan,
karena dalam arti membunuh di sini adalah membunuh potensi. Ketika siswa
dimarahi, ia akan merasa takut. Dalam rasa takut itu, potensi siswa bisa
tertekan bahkan bisa terbunuh. Potensi siswa untuk menjadi hebat dan pintar
bisa hilang gara-gara sering dimarahi oleh gurunya.
Menurut
(Fahd Jibran: 106-107) guru yang galak biasanya memiliki masalah di luar kelas,
baik itu masalah ekonomi, keluarga, maupun masalah-masalah lainya. Kemudian
secara tidak sadar, mereka menumpahkan kekesalannya dengan bersikap galak di
kelas. Disamping itu, adanya pemahaman bahwa kedisiplinan yang harus diterapkan
dengan cara apa pun membuat mereka merasa punya legitimasi melakukan tindakan
kekerasan untuk menegakan disiplin. Imbasnya mereka galak, suka marah-marah,
dan rajin memberikan hukuman fisik pada anak didiknya.
Hukuman
fisik adalah contoh kasus yang paling sering muncul di setiap sekolah, dari SD
sampai SMA. Terjadinya kekerasan pada murid tidak terlepas juga dari pemahaman
tentang kekerasan. Juga ketidakmampuan guru menangkap dampak dari setiap
kekerasan yang dilakukannya. Seharusnya sebagai seorang pendidik, guru memahami
unsur-unsur negatif yang dibawa oleh perbuatan yang penuh kekerasan.
Hukuman-hukuman fisik tidak akan menghasilkan “efek jera” bagi siswa, justru
sebaliknya akan menimbulkan perasaan benci dan tidak hormat terhadap guru.
Selain
kekerasan fisik, terdapat pula kekerasan
nonfisik yang memiliki efek lebih dahsyat ketimbang kekerasan fisik. Kekerasan
yang dilakukan secara fisik, paling tidak hanya melukai fisik. Adapun,
kekerasan nonfiksi melukai jiwa, pikiran, perasaan dan masa depan. Kekerasan
seperti ini sering terjadi di lingkungan sekolah. Akan tetapi, sang guru
cenderung tidak menyadarinya.
Disudutkan
atau menyudutkan, dipojokkan atau memojokkan, didiskriminasikan atau
mendiskriminasi, dihina atau menghina, dipaksa atau memaksa, dilecehkan atau
melecehkan adalah bentuk-bentuk kekerasan nonfisik. Kekerasan tersebut tidak
selamanya terjadi melalui tatap muka atau interaksi secara langsung. Tetapi
bisa jadi kekerasan terjadi lewat peraturan, kebijakan, atau tradisi yang turun
temurun. Juga kekerasan lain, caci maki dan ungkapan-ungkapan, seperti bodoh,
dungu, tolol, sontoloyo, kurang ajar, bego, pengacau dan sebagainya. Hal ini
biasa terjadi di kelas tanpa disadari oleh guru tersebut bahwa itu adalah salah
satu tindakan kekerasan.
Menurut (Fahd Jibran: 160-170) setelah melakukan
analisis, terdapat tujuh hal yang melatarbelakangi kekerasan bisa terjadi.
a.
Ketika siswa hanya diposisikan sebagai objek pendidikan. Mereka dianggap
tidak berdaya, tidak punya potensi, harus menuruti perintah guru dan sekolah.
Mereka Cuma dipaksa untuk menerima dan menerima. Pendidikan Cuma dijalankan
dengan satu arah (pedagogis): guru memberi, murid menerima; guru mengajar,
murid diajari; guru memerintah; murid mematuhi, guru bicara; murid mendengar.
Semua diterima tanpa reserve! Model
pendidikan seperti ini oleh Paulo Freire disebut pendidikan gaya bank (banking concept of education).
b.
Penyeragaman dan pemaksaan kurikulum. Pemerintah melalui kepanjangan
tangannya – Dinas Pendidikan Nasional – dulu, pernah menyusun kurikulum
nasional (kurnas). Semua institusi pendidikan dipaksa untuk mengikuti kurikulum
tersebut tanpa mempertimbangkan potensi jiwa, latar belakang sekolah, atau adat
dan budaya lokal. Maka standar kecerdasan hanya satu, yaitu siswa yang mampu
mengikuti kurikulum tersebut. Sampai saat ini menurut Fahd Jibran, sistem
persekolahan telah melakukan kekerasan dengan memberikan standar bahwa yang
pandai dan cerdas itu adalah mereka yang memiliki nilai bagus dalam
pelajarannya. Padahal, sebenarnya kepintaran tidak ditentukan oleh kemampuan
untuk mengerjakan soal ulangan untuk meraih nilai tertinggi di rapor.
Kepintaran ditentukan oleh kemampuan menemukan masalah yang menghambat
perkembanganmu menjadi manusia, yang berani membicarakan masalah-masalah
lingkungannya dan turun tangan dalam lingkungan tersebut, juga yang mampu
memperingatkan manusia dari bahaya-bahaya zaman dan memberikan keyakinan
kepercayaan serta kekuatan untuk menghadapi bahaya tersebut.
c.
Swarzer Paedagogis, yang diterapkan oleh para guru, yaitu metode
pendidikan yang menegangkan, membebani, membosankan dan monolog. Metode seperti
ini bisa menyebabkan hilangnya motivasi, sehingga bolos sekolah. Proses
belajar-mengajar itu seharusnya bisa dilakukan dalam suasana yang menyenangkan
sebab dalam kondisi itulah semua potensi siswa akan teraktualisasikan.
d.
Penerapan physical punishment (hukuman fisik) bagi
siswa yang dianggap melanggar peraturan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya.
e.
Ketika guru tidak
memiliki kebebasan dalam kreativitas mendidik, mereka bagai mesin fotocopy yang
terus berulang-ulang ribuan kali tanpa ada variasi, karena mereka takut target
yang telah ditetapkan dari atasan tidak terlaksana.
f.
Diskriminasi guru dan
pihak sekolah dalam memperlakukan siswa, baik berdasarkan status sosial,
gender, hubungan yan nepotis atau lainnya. Diskriminasi bisa terjadi, misalnya
dalam pemberian nilai, pemberian perhatian atau hal lainnya.
g.
Kekerasan terjadi
ketika pendidikan direduksi menjadi sebatas pengajaran. Biasanya, orang yang
memahami hal itu selalu menganggap bahwa proses pendidikan hanya bisa dilakukan
di sekolah atau kelas. Dampaknya, peserta didik jadi kurang kreatif untuk
belajar dari organisasi, masyarakat, atau media-media yang lain. Sementara itu,
guru hanya akan bertanggungjawab selama di kelas ketika ia mengajar. Di luar
itu, mereka lepas tangan sehingga moral siswa di luar kelas tidak menjadi
perhatian. Selain itu, akibat dari pemahaman yang reduksionis ini, orang tua
dan masyarakat lepas dari tanggungjawab. Mereka merasa telah menitipkan dam
menyekolahkan anak-anaknya, dan telah menjadi tanggungjawab sekolah dan
pendidik dan pembimbing anak-anaknya.
Hari
pertama anda mengajar di sekolah dahulu tidak saja dihadapi dengan hati
berdebar oleh anda, oleh calon siswa anda melainkan pula oleh para orang
tuanya. Jauh sebelum putra-putrinya menginjakkan kaki pertama kali di
sekolahnya, telah banyak dipertimbangkan dan dipersiapkan oleh para orang tua
itu, “ cukup matangkah anak saya tahun ini masuk sekolah? Sekolah mana yang
paling cocok untuknya? Akan senang dan rajinkah ia bersekolah di sekolah itu?
Bagaimanakah gurunya: baikkah? Sabarkah? Mampu dan bersediakah dia mendidik
anka saya sesuai dengan apa yang saya harapkan?” dsb.... seribu satu pertanyaan
pernah dipikirakan dan pernah didiskusikan oleh para orang tua.
Pertimbangan
mereka tentang sekolah yang telah mereka pilih serta staf gurunya bukan tanpa
disertai ragu dan waswas. Sebab memasukkan anak kesuatu sekolah dapat diartikan
mempertaruhkan masa depan anak itu.
Adapun
guru yang diharapkan adalah guru yang baik, yaitu pandai, ahli dalam mengajar
dan mendidik, ramah dan sabar, menyenangi anak, pandai berhubungan dan bergaul
dengannya, telaten dan bertanggungjawab.
Bahwa
harapan mereka begitu tinggi dapat difahami, karena guru di sekolah dipandang
sebagai pengganti orang tua, penjaga, pelindung dan pengasuh anak, penyambung
lidah dan tangan orang tua. Guru diharapkan mengantar anak pada harapan dan
cita-citanya. Bahkan guru dipandang lebih ahli dari dirinya, sehingga tidak
jarang terdapat orang tua merasa terbebas atau setidak-tidaknya berkurang
tanggungjawab pendidikan anaknya, manakala ia telah memasukkan anaknya ke
sekolah. Dalam masa sekolah ini tidak sedikit orang tua yang memandang gurulah
yang sepenuhnya bertanggungjawab mengenai pendidikan anaknya. “ untuk apa harus
sulit-sulit menyekolahkan anak, kalau masih harus ribut-ribut mengurus
pelajarannya? Apabila terjadi keributan anak-anak sekolah, terutama anak
remaja, pada guru pulalah sering ditudingkan segala pertanggungjawaban. Seolah
orangtua tidak lagi ada urusan dengan pendidikan anaknya.
Tentu
saja pandangan seperti itu tidak tepat. Orangtua tidak terbebas dari
pertanggungjawaban pendidikan anaknya, juga semasa anak bersekolah.
Memang
ada benarnya bahwa pada saat orangtua memasukkan anaknya ke sekolah telah
terjadi semacam pelimpahan (barangkali lebih tepat: peminjaman) tanggungjawab
pendidikan anak dari orangtua kepada guru, sehingga guru (membantu) memikul
tanggungjawab pendidikan anaknya yang ada di pundak para orangtua.
Akan
tetapi dengan demikian pada hakikatnya para orangtua tetap memikul
tanggungjawab pendidikan anaknya. Di samping itu, para guru pun memikul
tanggungjawab pendidikan anak tersebut atas nama para orangtuanya. Para guru
membantu para orangtua dalam melaksanakan tanggungjawab pendidikan terhadap
anaknya selaras dengan wewenang yang ada padanya dalam melaksanakan tugasnya
sebagai guru. Adanya pandangan seperti itu (yang sebenarnya kurang tepat)
mengundang para guru untuk tidak meremehkan tugas dan tanggungjawab yang
dipercayakan kepadanya dalam rangka mendidik anak-anak yang dititipkan padanya.
Dalam rangka menyangga tanggungjawab bersama mengenai pendidikan anak itu
adalah wajar jika antara guru dan orangtua diadakan kerjasama yang baik. Hal
ini dikarenakan kedua pihak menanggung kepentingan bersama, yaitu membantu anak
mencapai kemampuan melaksanakan hidupnya sebagai manusia dewasa.
Akan tetapi, dala masyarakat dikenal pameo:
·
Guru harus dapat
digugu dan ditiru.
·
Guru kencing
berdiri, murid kencing berlari-lari.
Dalam pameo tersebut tersirat
pandangan serta harapan tertentu dari masyarakat terhadap guru.
|
Dalam pandangan masyarakatpun guru memiliki tempat
sendiri. Sehai-hari ia dikenal sebagai pengajar. Setiap hari ia pergi ke
sekolah untuk mengajar sisw-siswanya. Apabila tiba masa liburan, iapun dianggap
mendapat liburan penuh: tiga atau empat kali libur panjang setiap tahun:
sungguh suatu pekerjaan yang menyenangkan. Masuk pukul setengah delapan, pulang
pukul setengah satu, kerja hanya omong-omong dengan anak-anak.... Nah, mau apa
lagi?
Memang
tidak dinyatakan siapa yang harus “menggugu” dan menirunya, apakah terbatas
pada siswa-siswanya atau berlaku juga untuk seluruh masyarakat. Namun,
kenyataan menunjukkan bahwa manakala seorang guru berbuat kurang senonoh,
menyimpang dari ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah masyarakat, manakala
guru itu menyimpang dari apa yang diharapkan masyarakat daripadanya, langsung
saja masyarakat memberikan suara sumbang kepadanya. Bahkan sering pula suara
itu ditujukan kepada seluruh jajaran guru. Kenakalan anak yang kini sering
menggejala di beberapa tempat sering pula tanggungjawabnya ditudingkan kepada
guru sepenuhnya dan sering dilupakan apa yang didengar dan dilihat anak dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dalam
kedudukan seperti itu sebenarnya guru tidak lagi hanya dipandang sebagai
pengajar di kelas. Guru diharapkan pula tampil sebagai pendidik bukan saja
terhadap anak didiknya di kelas, namun juga sebagai pendidik di masyarakat yang
seyogyanya memberikan teladan yang baik kepada seluruh masyarakat. Dalam
kedudukan ini, ia kembali tampil sebagai orang yang harus digugu dan ditiru
bahkan oleh seluruh masyarakat. Manakala ia berhasil atau dianggap berhasil
memenuhi harapan masyarakat itu, maka ia pun mendapatkan tempat yang khusus di
mata masyarakat. Ia menjadi tempat bertanya, tempat terhormat, dan berbagai
jabatan serta kedudukan disodorkan kepadanya. Guru seperti itulah yang di dalam
pameo “Guru, ratu, wong atuwo karo”
mendapat penghormatan melebihi raja.
Demikianlah
atas dasar analisis sepintas ternyata kedudukan guru tidak hanya terbatas oleh keempat dinding kelasnya di sekolah,
melainkan bergeser jauh menembus batas halaman sekolah dan berada langsung di
tengah masyarakat. Ia tidak hanya terlibat dalam rangka pendidikan formal,
melainkan juga dalam pendidikan informal dan nonformal. Hal seperti ini kita
lihat dalam kehidupan sehari-hari, lebih-lebih di desa, yang merupakan sebagian
besar dari wilayah indonesia. Hampir dalam setiap kesempatan ia diberi peranan
dan mengambil peran yang utama. Ia juga sering menjadi tempat bertanya dari
masyarakat, bahkan tidak jarang juga mengenai hal-hal yang mungkin di luar
jangkauannya.
Kedudukan
seperti itu merupakan warisan dari pandangan terhadap guru zaman dahulu, ketika
guru dianggap menduduki kedudukan yang sakral, yang dianggap dapat menembus
kabut rahasia kegaiban. Penggalian ilmu maupun penyampaian ilmu saat itu tidak
dilaksanakan melalui cara yang rasional dan terbuka, melainkan tertutup dan
penuh rahasia, terbatas pula orang yang dipandang dapat mengarungi samudra ilmu
yang luas, dalam dan penuh rahasia tersebut. Oleh karena itu, wajarlah bila
orang yang berhasil mendapatkan ilmu dan menduduki kedudukan guru itu sangat
disegani dan dihormati.
Akan
tetapi, kini pengajaran dan pengkajian ilmu tidak lagi dilakukan tidal lagi
dilakukan dalam suasana rahasia dan tertutup. Dengan lahirnya suasana
demokrasi, setiap orang dianggap layak dan berhak mendapatkan pendidikan. Hal
ini dinyatakan pula dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pendidikan dan pengajaran
terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat dan tidak merupakan hak istimewa
sekelompok atau segolongan lapisan masyarakat tertentu saja. Lebih banyak orang
yang berkesempatan memahami kehidupan ini dan kemampuan mendalami makna
kehidupan melalui pengkajian ilmu tidak lagi dianggap serba gaib dan misterius.
Oleh karena itu, kedudukan dan penghargaan terhadap gurupun menjadi wajar
adanya.
Demikianlah
orang pada masa kini, lebih-lebih di kota menjadi lebih kritis. Jabatan guru
tidak lagi dipandang sebagai jabatan istimewa yang diperuntukkan bagi lapisan
masyarakat tertentu saja. Dalam pandangan Hindu dan Hindu-Jawa, sang guru
termasuk lapisan masyarakat tertinggi, melebihi lapisan para raja, sebagaimana
tersirat dalam peribahasa “Guru-ratu-wong
atuwo karo”. Kini para guru mendapatkan kedudukan yang sejajar dengan para
pejabat lain.
Manakala
orang mulai menghargai orang lain dengan ukuran materi, maka guru pun dipandang
sebagai pegawai biasa, penerima gaji. Sekiranya guru yang bersangkutan kurang
pandai membawakan dirinya di hadapan siswa-siswanya khususnya mereka dari
kalangan elite yang di rumahnya biasa hidup mewah, mungkin ia akan serba salah
tingkah. Ia juga berhadapan dengan orangtua mereka, bahkan kadang dihinggapi
rasa rendah diri karena kekurangan dalam bidang materi itu. Keadaan seperti ini
dapat mengganggu kewibawaannya dalam mengemban tugasnya sebagai pendidik.
Akibatnya, ia dihinggapi rasa rendah diri dan kehilangan wibawanya di depan
siswa-siswanya. Akibatnya, makin turun pulalah penilaian orang terhadapnya.
Syukurlah
pandangan dan keadaan sedemikian tidak selalu menghantui dunia guru. Makin
banyak orang yang dapat menghargai guru. Namun pada akhirnya pandangan tersebut
tergantung pula dari guru itu sendiri dalam menempatkan dan membawakan dirinya
untuk mengemban tugas yang mulia itu.
Best Baccarat Strategies for Beginners | Wolverione
BalasHapusIf you want to learn how to play Baccarat online, you must 바카라 사이트 go for a หารายได้เสริม few simple tips. Some strategies can choegocasino help you become a winner.
Gambling at MGM's Las Vegas casinos - JTM Hub
BalasHapusMGM, which owns 창원 출장마사지 a $5.2 billion 동해 출장마사지 Mirage Casino, opened 여수 출장마사지 its 서산 출장샵 first casino hotel in Nevada on 청주 출장마사지 Monday, April 1, 2011, as MGM